Selasa, 02 Oktober 2012

Seluk-Beluk Drama

hah. Dari dulu kalo yang namanya tugas dalam bentuk makalah, aku lebih seneng tugas individu daripada kelompok, lebih adil gitu menurutku. Ini aja, masak iya bikin 1 makalah kelompokan 1 kelas yang jumlah siswanya 34 siswa! yang bener aja! ya jelas yang aktif bikin cuma segelintir orang--bahkan ga ada. Kayak tugas ini nih, deadline-nya besok, eh pada belum bagi tugas, endingnya daripada ga ada yang bikin trus bikin gurunya kecewa, yah akhirnya aku mewakili "satu kelas" bikin makalah ini seorang diri. Bukannya ga ikhlas dan ngeluh, cuma cerita aja kok, kalo aku mah dengan senang hati melakukannya :)

okee, ini dia Tugas Mapel Bahasa Indonesia tentang "Seluk-Beluk Drama" yang aku bikin, eh hasil copas juga deng~ hihi. semoga bermanfaat :)

Pengertian Drama
Drama adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti "aksi", "perbuatan". Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera. Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.

Sejarah Drama
    Sebagai istilah, “drama” dan “teater” dipinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya, di Yunani, “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Istilah “drama” yang dikemukakan oleh Drs. Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus (525-156 SM) –satu dari tiga penyair tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’. Sedangkan istilah “teater” yang berasal dari “théátron” yang juga merupakan turunan dari kata “theáomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’. Secara khusus lagi, pada masa Thucydès (471-395 SM) dan Plato (428-348 SM), “teater” juga dimaksudkan sebagai ‘gedung pertunjukan, panggung’, atau ‘publik auditorium’ pada zaman Herodotus (490-424 SM), dan ‘karangan tonil’, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama (Wahyudi, 2006:99).
Ada juga yang menganggap bahwa teater dan drama ,secara substansial, kedua istilah itu berarti sama (Dahana, 2000: 3). Hal tersebut karena seni drama dan teater bukanlah jenis sastra yang murni (pure literature). Drama dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek literer (aspek sastra) dan aspek teateral (aspek teatrikalnya). Dengan kata lain, seni drama adalah seni kolektif, kompleks, multikonteks; tetapi ansambel, bulat, dan utuh (Satoto, 1986: 2).
Ciri khas penulisan naskah drama yang membedakannya dengan bentuk penulisan puisi dan prosa adalah dominasi dialog dan adanya petunjuk pemanggungan. Hal ini sesuai dengan batasan drama menurut Ibnu Wahyudi bahwa drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh (Budianta, 2006: 95).
Drama mulai tumbuh sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni pertunjukan berbahasa Melayu yang populer terutama di kota-kota besar yang umumnya dikenal sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi Stambul atau Opera Bangsawan. Asal-usul seni pertunjukan itu tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat berasal dari Tanah Melayu, dibawa oleh sutradara keliling yang berdarah Rusia. Teater ini bukan sejenis teater rakyat yang diciptakan oleh masyarakat untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai miliknya. Komedi Bangsawan adalah produk kebudayaan populer yang sejak pertengahan abad 19 masuk ke Hindia Belanda.
Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya, mulai dari pasar sampai kuil, sebagian berkembang menjadi berbagai jenis teater yang memerlukan tempat khusus untuk mementaskannya. Pengaruh drama Barat masuk sejak akhir abad 19, mula-mula dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai kepentingan sosial. Dalam perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun muncul, yang pertama tiruan belaka dari seni pertunjukan yang dikenal sebagai Komedi Stambul, yang kedua merupakan usaha beberapa kalangan untuk menyerap pengaruh teater Eropa yang pada masa itu mengembangkan realisme.
Pada perempat abad 20, Kwee Tek Hoay, mencoba mengembangkan realisme yang meneladani Ibsen, drama yang mengandalkan naskah. Drama pun mulai berkembang, yang khas pada perkembangannya di Indonesia adalah bahwa berbagai jenis kecenderungan masuk bersama-sama. Kwee Tek Hoay dan Wiggers mengembangkan gaya realis dalam drama, mereka adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya, drama-drama yang mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan dengan perubahan sosial dengan gaya realis. Sementara itu, intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan romantik untuk menyampaikan idealisme dalam rangka bangkitnya rasa kebangsaan.
Pergolakan pertama drama Indonesia terjadi pada tahun 1920-an, yang kemudian disusul dengan kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme dengan simbol-simbol. Sepanjang tahun 1930-an, para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskahnya bisa digolongkan ke dalam drama kamar. Perkembangan itu praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940. Sensor yang sangat ketat dari pemerintahan militer Jepang menyebabkan dramawan Indonesia tidak bisa berbuat lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dari Asia Timur Raya. Karya Umar Ismail, dramawan utama Indonesia tahun 1940-an, merupakan tonggak penting dalam perkembangan drama kita. Sesudah proklamasi kemerdekaan, tumbuh euforia kebebasan yang mendukung tumbuhnya dramawan kita terhadap nasib kaum lemah dan rakyat kecil.
Kecenderungan yang ada pada awal 1950-an, disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial politik yang mendadak dan mendasar. Pada masa itu, muncul drama-drama yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani, yang sebagian besar mengungkap kehidupan rakyat kecil dan segala masalahnya. Di samping itu ia juga memanfaatkan cerita rakyat sebagai sumber dramanya. Pada awal tahun 1960-an, panggung pertunjukan dimuati dengan gagasan mengenai modernisasi yang tidak jarang diselewengkan kekecenderungan politik tertentu. Yang kemudian terjadi pada masa sesudahnya adalah masuknya pengaruh jenis baru drama Barat yang di negeri asalnya berkembang sejak tahun1940-an, yakni drama eksistensialis dan absurd. Dalam perkembangannya, kecenderungan itu dikenal sebagai eksistensialisme suatu istilah yang bisa saja dipertanyakan karena tidak pernah secara jernih disampaikan oleh para pendukungnya di Indonesia. Sejak tahun 1960-an, drama berkembang dengan baik melaui penerjemahan yang menunjukan kualitas dan gaya yang berbeda-beda.
Dalam perkembangan drama, Rendra boleh dikatakan menjadi tokoh utama yang menggerakkan arah drama kita lewat sejumlah terjemahan dan pementasannya. Pementasan Rendra yang menggunakan naskah Samuel Beckett, Menunggu Godot, mempunyai dampak luar biasa terhadap perkembangan drama Indonesia sejak tahun 1970-an.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan drama sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik. Dalam masa akhir abad ke 20, ketika pemerintahan Soeharto disingkirkan muncul drama-drama sosial dan protes yang tidak berbeda dalam hal gaya dan tema. Namun, Ratna Sarumpaet berhasil mengusung tema baru dalam dunia drama Indonesia yaitu mengenai perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini terlihat dari dua karyanya yaitu Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1993) dan sebuah monolog yang berjudul Marsinah Menggugat (1997).
Selain itu, reformasi yang puncaknya adalah peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma melalui tiga buah naskah drama yaitu Tumirah: Sang Mucikari (1998), Mengapa Kau Culik Anak Kami (1999), dan Jakarta 2039 (2000). Ia melukiskan kekejaman politik dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Dalam naskah drama Jakarta 2039 merupakan gabungan dari dua cerpennya yaitu Clara dan Jakarta suatu Ketika
Demikianlah drama di Indonesia dan tentunya dimanapun selalu erat kaitannya dengan perubahan sosial, dan drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah yang berhasil mengangkat inti gejala itu dan kemudian menyampaikannya.
Ciri-Ciri Drama
1.      Harus ada konflik atau plot cerita yang mengandung konflik
2.      Harus ada aksi
3.      Harus dilakonkan
4.      Durasi kurang dari 3 jam
5.      Tiada ulangan dalam satu masa

Unsur-Unsur Drama
Secara beruntun akan dibicarakan mengenai anatomi sastra drama, plot atau alur cerita, struktur dramatic Aristoteles, tokoh cerita atau karakter, bahasa, buah pikiran atau tema, dan dorongan atau motivasi.
1.      Anatomi Sastra Drama
Walaupun tidak semua, namun kebanyakan naskah-naskah drama dibagi-bagi di dalam babak. Suatu babak dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa yang terjadi di satu tempat pada urutan waktu tertentu.
Suatu babak biasanya dibagi-bagi lagi dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian dari babak yang batasnya ditentukan oleh perubahan peristiwa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih tokoh cerita ke atas pentas.
Bagian lain yang sangat penting dan secara lahiriah membedakan sastra drama dari jenis fiksi lain adalah dialog. Dialog adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang lain. Begitu pentinya kedudukan dialog di dalam sastra drama, sehingga tanpa kehadirannya, suatu karya sastra tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra drama.
Umumnya naskah sastra drama mempunyai bagian lain yang jarang tidak hadir, yaitu petunjuk pengarang. Petunjuk pengarang adalah bagian dari naskah yang memberikan penjelasan kepada pembaca atau awak pementasan—misalnya sutradara, pemeran, dan penata seni—mengenai keadaan, suasana, peristiwa atau perbuatan dan sifat tokoh cerita.
Bagian naskah lainnya ialah prolog, namun tidak semua naskah memiliki prolog. Prolog adalah bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Pada dasarnya prolog merupakan pengantar naskah yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau pendapat pengarang tentang cerita yang akan disajikan.
Disamping prolog terdapat pula epilog. Epilog biasanya berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita; kadang-kadang kesimpulan itu disertai pula dengan nasihat atau pesan.
Solilokui adalah bagian lain dari naskah drama. Solilokui merupakan suatu konvensi, yaitu suatu hal yang diterima pembaca atau penonton sebagai suatu yang wajar di dalam kerangka sastra drama.
Aside adalah bagian naskah drama yang diucapkan oleh salah seorang tokoh cerita dan ditunjukan langsung kepada penonton dengan pengertian bahwa tokoh lain yang ada di pentas tidak mendengar.
2.      Plot atau Alur Cerita
Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab-akibat. Seorang dramawan menyusun plot untuk mencapai beberapa tujuan, yang terpanting diantaranya adalah untuk mengungkapkan buah pikiran. Selain itu plot juga memiliki fungsi menangkap, membimbing, dan mengarahkan perhatian pembaca atau penonton. Meskipun pesan yang akan disampaikan dalam sebuah drama adalah pesan yang berharga, kalau penonton tidak merasa tertarik kepada karya yang dicipta, maka buah pikiran atau pesan yang ingin disampaikan tidak akan sampai sasaran. Tugas menarik pembaca atau penonton diemban plot dengan mempergunakan unsur-unsurnya.
Ketegangan (suspense) adalah unsur plot yang pertama. Plot baik akan menimbulkan ketegangan pada diri pembaca atau penonton melalui kemamuannya untuk menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai akhir.
Unsur kedua adalah dadakan (surprise). Pengarang yang baik akan menyusun ceritanya sedemikian rupa hingga dugaan-dugaan pembaca atau penontonnya selalu keliru dan peristiwa membelok ke arah lain yang tidak disangka-sangka dan bahkan mengagetkan.
Ironi dramatik dapat berbentuk pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Ironi diciptakan agar tidak mengganggu ketegangan dan hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya, ironi dramatik justru untuk mendukung kedua unsur yang lain. Ironi dramatik akan menyebabkan pembaca dan penonton lebih penasaran di satu pihak, di pihak lain akan memperkuat kesan dadakan kalau kemudian terjadi peristiwa yang ternyata berhubungan erat dengan apa yang terjadi sebelumnya.
3.      Struktur Dramatik Aristoteles
Struktur dramatik digunakana untuk memelihara kesinambungan hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik aristoteles. (384-322 SM) dari karya-karya Sophocles (495-406 SM).
Struktur adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian, yang kalau satu di antara bagiannya diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. adapun bagian-bagian itu ialah eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Denga demikian timbullah kegawatan.
Komplikasi disusl klimaks, bagian selanjutnya dari struktur dramatik aristoteles. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh.
Bagian terakhir adalah konklusi. Dalam bagian ini nasib-nasib tokoh cerita sudah pasti plot dan alur cerita, di samping mengembang faal (fungsi) untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita.
4.      Tokoh Cerita atau Karakter
Cerita yang disajikan dalam suatu drama umumnya adalah totkoh-tokoh yang berupa manusia, selain binatang atau makhluk lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan di daam plot.
Sifat dan kedudukan tokoh cerita di dalam suatu karya sastra drama beraneka ragam. Ada yang bersifat penting (major) dan ada pula yang digolongkan dalam golongan tidak penting (minor). Ada yang berkedudukan sebagai protagonis, yaitu tokoh yang pertama-tama berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Protagonis adalah tokoh yang pertama-tama mendapat masalah dan dihadapkan dengan kesukara-kesukaran. Biasanya kepadanya para pembaca berempati.
Lawan protagonis adalah antagonis, yaitu peran sebagai penghalang dan masalah bagi protagonis. Tokoh lain adalah confidant, yaitu tokoh yang menjadi penengah atau tokoh kepercayaan dari kedua tokoh protagonis atau antagonis sehingga keduanya bisa mengungkapkan isi hati di pentas dan oleh karena itu membuka peluang lebih besar kepada pembaca atau penonton untuk mengenal watak dan niat-niat tokoh-tokoh dengan lebih baik.
Watak para tokoh bukan saja merupakan pendorong untuk terjadinya peristiwa, akan tetapi juga merupakan unsur yang menyebabkan gawatnya masalah-masalah yang timbul dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Tingkah laku dan perkataan tokoh-tokoh cerita itu niscaya akan membangkitkan perhatian dan membimbing pembaca atau penonton yang peka untuk memahami, menghayati, dan menyimpulkan buah pikiran pengarang.
5.      Bahasa

Unsur drama yang sangat penting adalah bahasa. dalam hubungannya dengan plot, bahasa memiliki beberapa peran. Bahasa juga menggerakkan plot dan alur cerita. Bahasa juga menjelaskan latar belakang dan suasana cerita. Melalui bahasa yang diucapkan oleh para tokoh cerita atau petunjuk pengarang, kita mengetahui tentang tempat, waktu atau zaman dan keadaan di mana cerita itu terjadi.
Bahasa juga berperan menciptakan suasana terpenting dalam cerita. Bahasa pun sangat penting hubungannya dengan tokoh. Di samping oleh perbuatannya, watak tokoh cerita dilukiskan melalui apa yang dikatakannya atau apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang dia sehingga bahasa berperan besar dalam mengungkapkan buah pikiran pengarang. Kalaupun tokoh-tokoh tidak mengungkapkan buah pikiran pengarang secara langsung, pembaca atau penonton akan menyimpulkan buah pikiran itu terutama melalui bahasa di samping perbuatan tokoh-tokoh cerita.
6.      Buah Pikiran atau Tema
Kalau seorang seniman tergolong pada kelompok masyarakat yang disebut cendekiawan, hal itu berarti bahwa sebagai anggota masyarakat ia senantiasa peka dan memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Seorang dramawan atau penulis naskah drama pertama kali pasti menemukan masalah, artinya ia melihat kesenjangan antara kenyataan (das Sein) dan harapan (das Sollen).
Unsur buah pikiran dalam karya sastra drama yang terdiri dari masalah, pendapat, dan pesan pengarang itu secara langsung dan intuitif disimak oleh pembaca atau penonton yang baik. Buah pikiran merupakan tujuan akhir yang harus diungkapkan oleh plot, karakter, maupun bahasa. Oleh karena itu, buah pikiran justru menjadi pedoman dan pemersatu bagi unsur-unsur drama lainnya.
7.      Dorongan atau Motivasi
Salah satu unsur yang tidak kalah pentingnya dari unsur-unsur yang lain adalah dorongan atau motivasi. Motivasi adalah unsur yang menentukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap percakapan (dialog) yang diucapkan oleh tokoh cerita, khususnya tokoh utama atau protagonis. Jika ingin memahami, menghayati, dan menikmati karya sastra drama, seyogianya berusaha secepat mungkin untuk menangkap motivasi utama dalam karya itu.
8.      Hubungan Langkah-langkah Apresiasi dengan Unsur-unsur Dramatik.

Langkah pertama dalam apresiasi karya drama adalah keterlibatan jiwa, yaitu suatu peristiwa ketika pembaca atau penonton menyimak pikiran dan perasaan pengarang dalam hubungannya dengan suatu masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya.
Langkah kedua dalam apresiasi karya drama adalah kemampuan pembaca atau penonton untuk melihat hubungan mantik (logis) antara gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayalnya dengan unsure-unsur drama yang terdapat di dalam karya itu. Dalam langkah kedua apresiasi initermasuk pula drama sebagai pengungkap buah pikiran dramawan.
Langkah ketiga dalam apresiasi karya drama dicapai ketika pembaca atau penonton memasalahkan dan menemukan atau tidak menemukan hubungan (relevansi) antara buah pikiran pengarang dengan pengalaman pribadinya dan pengalaman kehidupan masyarakat secara umum. Dalam tingkat ini, pembaca atau penonton menetapkan apakah buah pikiran dramawan itu ada manfaatnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.

Jenis-Jenis Drama

Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.
1.      Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.
2.      Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.
Macam-Macam Drama Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :
1.      Drama Komedi
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
2.      Drama Tragedi
Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
3.      Drama Tragedi Komedi
Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
4.      Opera
Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
5.      Lelucon / Dagelan
Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
6.      Operet / Operette
Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
7.      Pantomim
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
8.      Tablau
Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
9.      Passie
Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.
10.  Wayang
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

SembilanPuluhSembilanKomaSembilan Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template