Seandainya Enam Bulan
Lalu
Oleh : Ratna Wulandari
“Far, aku sayang banget sama kamu, kamu mau ga jadi
pacarku?” ucap Rafa sambil menggenggam jemari Fara.
“Em, gimana ya, males ah, kamu kan
jarang mandi,” jawab Fara diiringi tawanya.
“Ah kok jawabmu gitu sih Far, ga
asyik banget deh,” jawab Rafa cemberut.
“Lagian kamu ada-ada aja sih, nembak
cewek aja pake latihan, kamu kan udah profesional banget kalo masalah kayak
gini,” jawab Fara tanpa merasa bersalah.
“Tapi kali ini beda Far, aku mau
nembak cewek yang udah aku idam-idamin beberapa bulan ini.”
“Yaudahlah santai aja, aku yakin
banget pasti diterima.”
“Oke deh, thanks ya Far, aku cabut dulu,” pamit Rafa sambil mengacak-acak
rambut Fara.
“Iya iya, sana cepetan, jangan lupa
beliin bunga mawar di toko depan, biar so
sweet!”
“Siap!”
Selepas kepergian Rafa air mata Fara
jatuh lagi, yah bukan kali pertama Fara menangis karena Rafa. Rafa dan Fara
sudah bersahabat sejak mereka berdua diterima di SMA yang sama sekitar dua
tahun silam—tepatnya saat Rafa membantu Fara mencari nama “Fara Putri
Rahmawati” di daftar nama calon peserta didik yang diterima.
Sejak saat itu dan sejak mereka
menjadi teman sekelas, hampir setiap hari mereka pulang bersama, mengerjakan
tugas bersama, dan sesekali jalan bersama. Hal itu membuat teman-teman Rafa dan
Fara mengejek mereka sebagai sepasang kekasih, dan nama mereka yang hanya
berkebalikan suku kata lebih memperparah hal itu. Akan tetapi, mereka berdua
tidak pernah ambil pusing tentang apapun yang teman-teman mereka pikirkan. Memang
benar jika ada orang yang berkata bahwa persahabatan antara lelaki dan
perempuan tidak akan pernah murni, di dalam persahabatan akan selalu ada cinta
yang berbuih di dalamnya, cinta yang lebih dari sekedar sahabat. Sejak Fara
menyadari bahwa Rafa memberi perhatian lebih padanya, ejekan teman-temannya
tidak lagi bisa Fara anggap sebagai angin lalu, namun logika Fara tetap
meyakinkannya bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, Rafa tidak mungkin memiliki
perasaan lebih padanya.
Bersekolah di bangku SMA tinggal
menghitung hari, tiga tahun berlalu sangat cepat. Fara telah diterima di
fakultas impiannya di universitas favoritnya—kedokteran UGM. Sedangkan Rafa
akan berkuliah di fakultas hukum di salah satu universitas di Semarang.
Seminggu lagi akan diadakan farewell
party, Fara memutuskan untuk memperjelas segalanya pada Rafa di acara
tersebut. Ia mengambil sebuah kotak bermotif polkadot warna ungu muda dari laci
meja belajarnya, melihat isinya sebentar, kemudian menutupnya kembali.
Setelah acara farewell party, Fara—yang saat itu memakai dress berwarna peach—menemui
Rafa—yang berbalut jas hitam—di tempat yang telah mereka sepakati sebelumnya.
“Lama ya Raf?” tanya Fara pada Rafa
yang sudah duduk di kursi taman gedung acara farewell party.
“Tapi semua itu terbalaskan setelah
aku tahu orang yang aku tunggu sangat cantik hari ini,” jawab Rafa dengan
sedikit terperangah.
“Ah apaan sih Raf, sebenernya aku
mau ngomong sesuatu sama kamu,” Fara tidak menganggap serius pujian Rafa dan
langsung duduk menyebelahinya.
“Iya ngomong aja, aku dengerin kok,”
“Kita sama-sama tau kalo hubungan
kita ga lebih dari sepasang sahabat, tapi aku ga bisa mengabaikan apa yang kamu
katakan setahun yang lalu bahwa kamu menyukaiku dan aku juga memiliki rasa yang
sama, bahwa kita sama-sama sepakat untuk tetap bersahabat dan tidak dulu
berpacaran karena masa-masa pacaran tidak akan seindah saat kita sedang pdkt
dan hanya akan membuat kita cepat bosan dengan hubungan kita lalu putus dan
semuanya hancur,” Fara menghela napas dan Rafa tetap memperhatikan dengan
seksama takut kalau-kalau ada satu kata Fara yang terlewatkan.
“Aku memang menyukaimu, aku memang
menyayangimu, tapi aku tidak bisa begini terus Raf, aku tidak bisa
terus-menerus memainkan hati dan perasaanku dengan terus mempertahankan memupuk
rasaku padamu sementara kamu terus memangkas tiap cabang perasaanku yang tumbuh
dengan berpacaran dengan cewek lain Raf. Ya, kita memang sepakat bahwa kita
tidak terikat oleh apapun dan masing-masing dari kita—atau lebih tepatnya
kamu—boleh berpacaran dengan orang lain, tapi ini semua terasa aneh Raf, dan
sekarang aku mulai ragu apakah kamu masih ingat dengan apa yang kamu katakan
setahun lalu dan apakah perasaan itu masih ada di tempatnya,” Fara menghela
napas lagi dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku tidak akan memintamu berkata
apapun sekarang, minggu depan aku sudah mulai tinggal di Jogja, jadi mungkin
kita akan sangat jarang bertemu seperti sekarang. Tiga bulan lagi aku akan
pulang, dan kamu bisa memberi keputusan saat itu. Nih buat kamu,” Fara menyodorkan
kotak bermotif polkadot warna ungu muda kepada Rafa.
“Apaan nih? Aku kan ga ulang tahun
Far,” jawab Rafa bingung.
“Aku juga tau kalo ulang tahunmu
masih sembilan bulan lagi Raf, yaudah aku balik ke acara dulu yaa, sampai
bertemu tiga bulan lagi,” Fara meninggalkan Rafa yang masih mencerna apa yang
telah dialaminya.
Selepas kepergian Fara, Rafa membuka
kotak yang ada di pangkuannya yang ternyata berisi buku yang di dalamnya
terdapat foto-foto mereka dalam berbagai pose, dari pose yang sengaja mereka
ciptakan hingga pose tidak sadar kamera yang diambil teman-teman mereka saat
mereka sedang bercanda.
Tiga bulan berlalu bagai seabad
lamanya bagi Rafa, tiga bulan pula Rafa dan Fara tidak saling berkomunikasi,
terakhir mereka berkomunikasi adalah saat Fara bercerita tentang hari
pertamanya berkuliah. Sekarang Fara baru menyadari bahwa tanpa Fara dunianya
terasa aneh, ada bagian penting dalam hidupnya yang hilang, dan sekarang Rafa
benar-benar merasa bahwa Fara memang sangat berharga baginya, orang yang selalu
punya cara melukis tawa di wajahnya, orang yang selalu ada untuk berbagi apa
saja, dan kini Rafa benar-benar merindukannya. Malam nanti Rafa harus bertemu
dengan Fara untuk menjelaskan semuanya, tentang rasa rindunya, rasa yang ia
kira akan hilang seiring berjalannya waktu, dan semua isi hatinya saat ini.
Tidak biasanya Rafa yang super duper acuh dengan
kebersihan dan kerapian kamar kosnya seperti kerasukan hantu cleaning service sehingga mau membenahi
kamar kosnya. Saat sedang menata rak bukunya, ia menemukan buku album pemberian
Fara. Sebenarnya sejak Fara memberikannya, Rafa belum pernah benar-benar
melihat isinya hingga selesai, dan kali ini Rafa akan menyelesaikannya.
Foto-foto dalam album itu seperti membentangkan kembali kenangan masa remajanya
di SMA—masa remaja bersama Fara tentunya. Gerakan tangannya terhenti pada
lembar yang memuat sebuah foto yang melukiskan tawa Rafa dan Fara saat mereka saling
mencolekkan krim kue tart di hari ulang tahun Rafa yang ke 17, di bawah foto
itu tertulis tulisan tangan Fara “Happy
sweet sevententh Rafa! Semoga tahun depan bisa kayak gini lagi yaa :p”.
Sekilas berkelebat tentang cuplikan adegan itu, membuat Rafa mengurungkan
niatnya untuk bertemu Fara malam ini, ia berniat akan menemui Fara saat ulang
tahun Rafa enam bulan lagi, lalu ia mengirim pesan singkat pada Fara.
To : Fara
Sorry Far, malam ini kita batal ketemu, aku banyak
tugas kuliah dalam beberapa minggu ke depan, kalo udah ga sibuk aku kabarin
lagi.
Fara tampak lemas setelah membaca sms itu, baju
terbaik yang telah ia siapkan ia masukkan kembali ke dalam lemari. Sepertinya
waktu benar-benar dapat mengubah segalanya tak terkecuali Rafa. Penantian Fara selama
tiga bulan—bahkan jauh lebih lama dari itu karena Fara telah menunggu kurang
lebih setahun sebelumnya—sepertinya tidak akan berbuah semanis yang ia harapkan,
tapi apalagi yang bisa Fara lakukan selain menerima dan melepaskan.
Hari yang ditunggu Rafa akhirnya datang juga, hari
ulang tahunnya. Rafa ingin memberikan sebuah kejutan kepada Fara, mengabulkan
harapan Fara satu tahun lalu, dan memberikan balasan yang setimpal atas
penantian Fara selama ini. Rafa telah membuat janji makan malam dengan Fara di
tempat makan yang khusus ia siapkan untuk Fara, tak lupa satu buket bunga mawar
kesukaan Fara.
“Hai Raf, sorry
ya lama, tadi ada urusan bentar,” sapa Fara yang langsung duduk di kursi di
hadapan Rafa.
“Iya gapapa, lama banget kita ga makan bareng kayak
gini ya,” jawab Rafa canggung takut kalau-kalau Fara masih marah kepadanya atas
pembatalan sepihak pertemuan mereka enam bulan lalu.
“Iyanih, dulu aja hampir tiap malem kayak gini,”
jawab Fara dengan senyum mengembang menghapus ketakutan Rafa.
“Oh iya, Happy
birthday yaa, aku pernah berharap bisa merayakan ulang tahunmu seperti
tahun lalu, sayangnya ga ada kue tart di sini buat nyolekin krim kue ke
hidungmu,” ucap Fara lagi.
“Sebenarnya aku mau ngomong sesuatu Far, sesuatu
yang seharusnya aku katakan enam bulan lalu, tapi aku emang pengecut sehingga
baru berani mengatakannya sekarang. Sebenarnya perasaanku ke kamu masih sama
dari dulu sampai sekarang, aku memang bodoh menyakitimu berkali-kali dengan
berpacaran dengan wanita lain, aku minta maaf. Setelah berbulan-bulan berpisah
denganmu aku baru sadar betapa pentingnya kamu buat aku, betapa sepi
hari-hariku tanpamu, dan hidupku tak lagi utuh dan hanyalah abu-abu. Sekarang
aku mau kita punya komitmen yang lebih serius, aku mau—“
“Raf, maafkan aku, aku kira semuanya sudah berubah,
sekarang aku sudah punya pacar, maafkan aku,” potong Fara.
“Tapi bagaimana bisa? Apa dia lebih baik dari aku?”
“Aku dulu memang menyayangimu Raf, tapi aku tidak
bisa terus-terusan bertahan dalam suatu ketidakpastian, aku merasa penantianku
cukup lama, dan aku berpikir semuanya memang sia-sia saat tiba-tiba kamu
membatalkan pertemuan kita. Dua bulan setelah itu dia datang, dia memang tidak
sesempurna kamu, tapi dia selalu memperlakukanku sebagaimana aku merasa
dibutuhkan, aku tidak perlu orang yang sempurna Raf, tidak ada orang yang
seperti itu, cukup orang yang mengerti, peduli, dan ada saat aku
membutuhkannya. Mungkin kamu memang terlalu sempurna untuk aku raih, kamu
pantas mendapatkan yang lebih dari aku Raf,” ucap Fara panjang lebar.
“Tapi aku benar-benar menyayangimu Far,”

Hati Rafa hancur berkeping-keping dan rata dengan
tanah sekarang, yang tersisa hanyalah penyesalan-penyesalan yang hanya bisa ia
ratapi. Seandainya ia mengatakan semuanya enam bulan lalu, seandainya ia tidak
sepengecut itu, seandainya.. seandainya.. seandainya. Rafa hanya bisa
berandai-andai, tapi ia tahu benar ini memang kesalahannya, tidak seharusnya ia
membuat Fara menanti selama itu, tidak seharusnya ia memberi ketidakpastian
padanya. Tapi bukankah semua memang telah terjadi sebagaimana mestinya?
Tapi ada satu hal yang kutahu, rasanya tidak enak
ketika kau menunggu hal yang tidak pasti. Jika seseorang yang kau cintai pergi,
apakah kau akan menunggunya? Apakah kau akan tetap menunggunya meskipun ia
telah membuatmu terluka?
0 komentar:
Posting Komentar