Tiga bulan setelah putus. Bisa-bisanya aku masih menulis tentang dia.
Semoga keluarga dan teman-teman
dekatku ga liat tulisan ini, kalo liat, pasti aku diomelin. Nyebut namanya aja
kena marah, gimana kalau ketahuan bikin cerpen begini wkwk.
Tulisan ini adalah saranaku
untuk mendeklarasikan perdamaianku dengan perasaanku sendiri. Terkait dia.
Mantanku.
Pada tulisan sebelumnya
rasa-rasanya masih penuh dengan kekecewaan dan kesedihan, tapi untuk sekarang,
aku pastikan tidak lagi demikian.
Untuk bisa sampai di titik ini sungguh tidak mudah. Banyak saksi hidup jika kamu kira aku mengada-ada.
Ga semudah dia. Atau bahkan dia
ga kesusahan sama sekali? Sepertinya. Kan ah sudahlah.
Dulu aku sempat bertanya-tanya,
Kenapa harus aku yang sakit
sementara dia engga?
Kenapa aku yang menderita
sementara dia bahagia-bahagia aja dengan cewe barunya?
Kenapa harus seperti ini setelah
apa yang aku lakukan buat dia?
Kenapa aku harus telat taunya?
Kenapa dia bisa tega dan
bener-bener berubah ga seperti yang aku kenal?
Dan banyak kenapa-kenapa lainnya.
Hingga seorang teman yang menyebut dirinya christmast boy (pdhl orang Muhammadiyah wkwk lol) bilang ke aku,
“Kamu kuat, Nak. Dan Allah tau kamu kuat, makanya di antara kalian berdua, Allah pilih kamu untuk menghadapi bagian sedihnya, karena kalo dikasih ke dia, mungkin dia ga akan sekuat kamu.”
Sungguh menenangkan jiwa.
Akhirnya aku sadar, memang lebih
baik begini.
Biar aja aku yang menanggung
sedihnya, karena kalo dilihat dari pengalaman yang sudah-sudah, dia ga akan
kuat menanggung sedih yang seperti ini. Dan aku juga ga akan kuat ngeliat dia
sedih. Tentu aku akan dirundung rasa bersalah sepanjang waktu.
Biar aja dia yang pergi, karena
jika aku yang pergi, pasti aku akan kembali dan memaafkannya lagi, lagi, dan
lagi.
Mungkin ini jawaban dari
doa-doaku sendiri saat meminta keteguhan hati. Tapi waktu Allah jawab
doa-doaku, akunya malah bandel dan denial, gabisa dibilangin. Akhirnya harus
ada scenario seperti ini agar aku sadar dan ga ngeyel lagi.
Meski ga diakhiri dengan
baik-baik, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf dan terima kasih, yasudah,
biarlah. Aku tetap memaafkannya.
Aku tidak akan mendoakan hal-hal
buruk sebesar apapun kekecewaanku ke dia, tapi sepertinya aku juga belum bisa
mendoakan kebahagiaannya. Ga perlu juga sih kayanya, kan dia sudah bersama wanita
pilihannya yang sudah dia kenal jauh lebih lama dari sebelum kenal aku. Harusnya
cewenya lebih bisa mengerti dan tau bagaimana memperlakukan dia, kan?
Tapi aku akan berdoa agar dia selalu sehat, begitu juga dengan keluarganya. Sedih sekali menyadari bahwa saat aku putus dengannya berarti aku juga harus “putus” dengan keluarganya yang aku sayangi seperti keluargaku sendiri. Tentu ini ga baik, tapi demi menjaga perasaan pasangan barunya juga, kan?
Selamat tinggal, es tehku yg dulu.
Saatnya cetakan polaroid kita undur diri dari tempat-tempat terbaiknya.
0 komentar:
Posting Komentar